Badan saya masih meriang ketika polisi itu datang. Semalam, saya
berkelahi melawan Pak Darkin memperebutkan Nining dan saya kena swing
kepalan kirinya. Saya terjerembab tak sadarkan diri. Anak-anak
mengangkat tubuh saya ke atas dipan. Ada yang sibuk mencarikan minuman
panas. Ada yang mau memanggil dokter. Ada yang memijit. Malam itu,
karena peristiwa itu, penghuni Rumah Kita jadi rame sekali. Rupanya ada
yang lapor polisi tentang perkelahian itu. Polisi itu kembali ke pos
ketika saya katakan bahwa kejadian semalam perkelahian biasa, tidak
penting untuk dipersoalkan. Tapi, apa pun yang terjadi, kami, penghuni
Rumah Kita dengan para pedagang di Pasar Kliwon, telah kehilangan Nining
yang digelandang Pak Darkin secara paksa kembali ke rumahnya. Nining,
gadis kecil hitam manis tujuh tahun, memang milik Pak Darkin, meski
hanya sebagai ayah tirinya.
Nining sering ditempeleng ketika marah Pak
Darkin kumat. Ibunya, yang selalu membela putri kandungnya itu, sering
tubuhnya dilempar sampai membentur dinding. Untung dinding rumahnya dari
anyaman bambu sehingga cukup lentur. Pada suatu malam, dengan
tersengal-sengal Nining menghambur ke perkumpulan Rumah Kita untuk
bersembunyi. Kami menyambutnya dengan sukacita. Di dalam gerombolan kami
itulah, Nining merasa aman dan nyaman.
Di sepetak ruang yang merebut ruang milik pasar itulah, saya hidup.
Sehari-harinya saya pura-pura berbenah dengan perabotan dari
potongan-potongan sisa-sisa kayu yang berserakan di mana-mana. Saya
ditemani kompor minyak tanah, teko, panci, gelas, piring, sendok garpu,
ember, dan di atas dipan dengan tikar plastik itulah saya bisa
beristirahat dengan nyenyak.
Kemudian satu-dua anak datang dan pergi, mereka belajar apa saja,
juga memasak, rame-rame makan, dan tidur. Akhirnya Rumah Kita resmi
menjadi tempat mangkal anak-anak gelandangan, pengamen, pengemis,
pemulung, anak baik-baik yang tidak betah di rumah karena berbagai
alasan. Saya sebagai tukang sapu bagian kebersihan pasar merasa dituakan
lalu mengatur mereka dengan marah-marah, lelah, dan sedih, sejak tahun
1997.
Sebagai tukang sapu pasar, saya tak punya kebisaan apa-apa untuk
mengajar anak-anak itu. Untung, beberapa guru dan mahasiswa datang
secara sukarela mengajar anak-anak itu menulis, menyanyi, membaca, dan
bercocok tanam. Setiap minggu, anak-anak diminta membaca puisi
karangannya sendiri, juga cerpen, esai, dan menyanyikan lagu yang
ditulisnya sendiri. Ketika anak-anak dibawa ke kebun untuk belajar
bercocok taman itulah, Pak Darkin memergoki Nining ada di antara
anak-anak itu dan mencengkeram tangannya dan menggelandangnya.
Serta-merta saya menubruk tubuh Pak Darkin dan kami bergumul,
tindih-menindih. Saya yang boleh dikata tak pernah berkelahi begitu saja
terkapar. Sayup-sayup terdengar orang-orang sibuk menolong saya.
Gaji saya yang tak seberapa harus cukup cekatan dalam berkelit
menghidupi anak-anak itu. Sekitar 15 anak setiap hari paling tidak makan
dua kali. Setiap habis gajian, tak ada sisa sama sekali, bahkan
digayuti utang di sejumlah warung. Syukurlah ada anak yang bisa
menyumbang dari pendapatannya mengamen atau memulung. Tapi, yang sangat
membantu adalah sumbangan para pedagang pasar. Pedagang beras menyumbang
beras. Pedagang sayur menyumbang sayur. Pedagang ikan menyumbang ikan.
Bumbu-bumbu dapur rasanya tak pernah kehabisan.
Di malam yang sunyi ketika anak-anak sudah tidur, tiba-tiba datang
beberapa orang memanggul beberapa karung beras yang diperuntukkan Rumah
Kita. Orang-orang itu menaruhkan begitu saja karung-karung itu tanpa ada
sepatah pun kata pengantar. Ternyata tidak hanya beras, juga minyak
goreng beberapa botol, telor beberapa kilo, gula, kopi, teh, beberapa
ekor daging ayam segar. Tak ketinggalan banyak sekali kain sarung, kaus
oblong, dan peralatan mandi. Saya tidak tahu dari mana semua sumbangan
itu.
Pagi harinya semua sumbangan itu dibagi rata untuk anak-anak. Saya
sempat kebagian sarung dan kaus oblong. Anak-anak bertanya dari siapa
semua sedekah itu. Hari itu kami masak rame-rame dengan mengundang siapa
saja yang mau makan bersama kami. Anak-anak pengamen memeriahkan pesta
hari itu dengan mementil gitar dan menyanyi. Aduh, meriahnya. Aduh,
bahagianya. Sayang sekali, Nining tidak bersama kami. Tapi, kami
sisihkan sarung dan kaus oblong untuknya. Satu saat kami harus
merebutnya kembali atau kami akan bersedih sepanjang masa.
Malam yang tenteram tidak selamanya dapat dipertahankan. Saya bangun
tersentak tak bisa bernapas karena dicekik Pak Darkin yang bisa mulus
menyelinap ke gerombolan kami. Ia meradang.
”Kamu sembunyikan Nining di mana!”
Saya tak bisa menjawab. Bernapas saja sangat sulit. Pak Darkin paham lalu mengendorkan cekikannya.
”Saya tidak tahu,” jawab saya.
”Mau kamu saya bikin modar!”
”Sungguh mati saya tak tahu di mana Nining.”
”Bohong!”
”Kalau memang Nining hilang, saya bisa membantu mencarinya.”
”Sontoloyo!”
Saya terbatuk-batuk. Saya diseretnya keluar. Saya heran, tak seorang
pun anak yang terbangun. Saya digelandang terus. Sesampai di jalan raya,
saya dinaikkan ke becak. Pak Darkin duduk di samping sambil terus
nyerocos yang tak jelas. Rupanya saya dibawa ke sebuah pekuburan yang
gelap gulita. Dua orang yang sigap membekuk tubuh saya, membanting dan
membalut dengan kain kafan.
”Kamu harus sumpah pocong!” geram Pak Darkin lalu pergi bersama kedua kawannya.
Saya tak bisa bergerak, ketat sekali balutannya, membujur kaku bagai jenazah.
Tiba-tiba:
”Pak Totok,” suara seorang gadis membisik, ”Saya Nining.”
”Mengapa kamu di sini?” sergah saya.
”Saya menunggu Bapak,” jawabnya sambil melepaskan belitan kain kafan dari tubuh saya.
”Dari mana kamu tahu saya di sini?”
”Kiai Kintir baru saja mengantar saya kemari.”
”Sekarang beliau di mana?”
”Sedang bersiap-siap hanyut di Bengawan Solo.”
”Wah, gawat!”
Maka kami berdua bergegas ke Jurug tempat Kiai Kintir biasa memulai
kegiatannya menghanyutkan tubuhnya. Kiai Kintir alias Kiai Hanyut adalah
kiai—tak seorang pun tahu nama aslinya—yang punya kebiasaan
menghanyutkan tubuhnya di Bengawan Solo. Itulah jalan spiritualnya.
Sejumlah warga Solo ada yang mengolok-oloknya sebagai Kiai Kenthir
alias Kiai Sinting. Beliau tidak peduli atas cemoohan itu karena hidup
beliau sehari-harinya sangat serius. Bahkan yang melecehkannya
dikiriminya segepok uang yang dicomotnya dari udara. Maka semakin
bertambah banyak orang-orang yang meledeknya dengan pamrih Kiai itu
mengiriminya duit. Saya sendiri pernah melihat beliau mencomot uang dari
udara dan diberikannya kepada saya. Beliau pernah menyitir sabda
Kanjeng Rasul Muhammad SAW bahwa seandainya kalian tahu apa yang terjadi
di dunia ini, kalian akan menangis terus-menerus sepanjang hidup
kalian.
Sepanjang hayat Kiai Kintir mengasingkan diri. Tidak bergaul, tidak
menerima santri, tidak mengajar, tidak mau diwawancara, tidak mau
diundang makan. Pokoknya serba tidak. Saya sadar, semua kiriman beras
dan kebutuhan dapur yang mendorong kami bisa berpesta itu, merupakan
sumbangan Kiai Kintir. Beliau selalu bisa membahagiakan orang, sedang
untuk dirinya sendiri, beliau tidak berniat sedikit pun. Cerita lainnya
adalah, pernah sejumlah wartawan elektronik diam-diam mengambil
gambarnya. Ternyata wajah beliau tidak terekam, yang muncul hanya gelap
gulita. Jika beliau mulai menghanyutkan diri di Bengawan Solo, itu
pertanda di Solo akan terjadi sesuatu.
Sejak dini hari, ratusan orang dengan obor memenuhi kedua sisi
bantaran Bengawan Solo menyaksikan tubuh Kiai Kintir yang telentang
mengambang di sungai, hanyut dibawa arus. Orang-orang terus bergerak
mengikuti tubuh beliau yang dibalut pakaian, diam mengambang hanyut
seperti mayat. Saya dan Nining harus waspada supaya tidak kepergok Pak
Darkin yang barangkali saja ikut nonton. Sampai fajar merekah, rasanya
orang-orang yang menyaksikan tontonan aneh ini bertambah banyak. Tak ada
seorang pun yang berucap. Semuanya diam. Jika satu orang pun yang
berbicara memberi komentar, bisa-bisa Kiai Kintir tenggelam, begitulah
kepercayaan yang menyebar yang boleh jadi cuma dibikin-bikin oleh
orang-orang yang suka mengolok-olok. Dari jauh, Kiai Kintir cukup
meyakinkan sebagai perenang yang kebanyakan mampu diam telentang
mengambang.
Hari belum panas benar ketika air Bengawan Solo mulai naik. Tak
terdengar geledek. Tak terjadi gerimis. Cuaca cerah dengan langit biru
seperti undangan untuk keluar rumah menikmati keramaian kota. Ratusan
orang-orang yang berada di seberang menyeberang Bengawan Solo merasakan
air bengawan mulai mencium lutut. Tampak tubuh Kiai Kintir telentang
tenang hanyut semakin menjauh dari pendangan kami. Satu-dua orang
penonton terseret ke tengah bengawan. Puluhan orang lainnya berlarian
menyingkir dari bantaran sungai. Saya tarik Nining untuk menghindar dari
bantaran bersama puluhan orang yang kacau berlarian. Sesampai di jalan
raya, banjir sudah melahap seluruh kota Solo. Mobil, motor, andong,
becak ditinggalkan pemiliknya. Sejauh mata memandang, cuma air yang
berkilau-kilau yang tampak dengan orag-orang yang kebingungan
menyelamatkan diri.
Tangerang, 17 Maret 2008
Banjir di Pasar Kliwon, Solo Baru, Semanggi, Joyontakan.
source: cerpenkompas.wordpress.com
9 Pemain Sepak Bola Terbaik Sepanjang Sejarah
11 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar